Pesantren; Wilayah Sensitif yang Rawan Kritik

Tayangan Trans7 yang menimbulkan polemik

STASIUN televisi Trans7 menuai kecaman hebat setelah menayangkan segmen yang dinilai menyinggung dunia pesantren. Tayangan tersebut memicu gelombang protes dari sejumlah kalangan yang menganggapnya sebagai pelecehan terhadap martabat pesantren.

Sebagian masyarakat lainnya justru menilai kritik itu perlu agar lembaga pendidikan Islam tidak menjadi ruang yang kebal dari evaluasi.

Di media sosial, terutama TikTok, perdebatan merebak: ada yang menuntut Trans7 dijatuhi sanksi berat, ada pula yang menilai bahwa sikap reaktif berlebihan justru menunjukkan ketakutan menghadapi kritik.

Persoalannya bukan semata-mata tentang tayangan televisi, melainkan tentang bagaimana kita memandang pesantren sebagai lembaga yang seharusnya terbuka terhadap koreksi moral dan publik.

Baca juga: Trans7 Dikecam Usai Tayangkan Santri Ngesot Lewat Program “Xpose Uncensored”

Penghormatan kepada guru, kiyai, dan sesepuh merupakan bagian tak terpisahkan dari tradisi pesantren dan nilai Islam itu sendiri. Namun, bila penghormatan itu berubah menjadi kultus yang meniadakan ruang kritik, ia menjelma menjadi bentuk pendewaan manusia yang jelas bertentangan dengan ajaran Islam. Nabi saja tidak disembah, apalagi pemimpin pesantren.

Menutup pintu kritik terhadap pesantren sama artinya dengan membiarkan kemungkinan praktik menyimpang tumbuh di lembaga yang seharusnya menjunjung nilai-nilai luhur dan martabat manusia.

Menurut data Kementerian Agama, hingga 2023 terdapat lebih dari 41.000 pondok pesantren di Indonesia dengan sekitar 4,9 juta santri. Pertumbuhan pesat itu menunjukkan kepercayaan masyarakat yang luar biasa terhadap lembaga pendidikan berbasis agama ini. Namun, di balik prestasi tersebut, ada sejumlah kasus yang mencoreng dunia pesantren.

Baca juga: Pengemis Berkedok Bantuan Dayah Raup Rp 400 Ribu/Hari, Uang Digunakan untuk Judi Online

Komnas HAM dan Komnas Perempuan mencatat, dalam beberapa tahun terakhir, pesantren menjadi salah satu tempat dengan jumlah kasus kekerasan seksual tertinggi kedua setelah perguruan tinggi. Kasus-kasus di Bandung dan Jombang menjadi contoh nyata bahwa penyimpangan bisa terjadi di mana saja—bahkan di lembaga yang diasumsikan suci.

Dan, di balik data resmi itu, ada fenomena lain yang jauh lebih sulit diungkap: bisik-bisik di kalangan para alumni tentang praktik sodomi terhadap santri laki-laki. Cerita-cerita itu beredar secara sangat senyap di ruang-ruang perbincangan terbatas—tak pernah benar-benar muncul ke permukaan. Alasannya sederhana: perilaku menyimpang itu menyentuh dua wilayah paling sensitif—kehormatan pesantren dan aib pribadi korban.

Bagi banyak korban, berbicara berarti mempermalukan lembaganya sendiri dan membuka luka yang sangat personal. Sementara bagi masyarakat pesantren yang menjunjung adab, mengungkap aib kiyai atau teungku dianggap dosa yang sama beratnya dengan menodai nama baik agama. Maka, tak heran bila kasus semacam itu jarang masuk ke ranah hukum, tapi justru larut dalam diam yang panjang.

Namun, diam bukanlah jalan keselamatan. Diam hanya menumpuk luka dan memperbesar ruang gelap di mana penyimpangan bisa terus berlangsung tanpa pengawasan.

Pesantren membutuhkan sistem pengawasan internal yang lebih modern—dengan mekanisme pengaduan yang aman, audit etika, serta pendidikan kesadaran HAM bagi pengasuh dan santri. Kementerian Agama bersama lembaga perlindungan anak perlu memperkuat regulasi dan pemantauan agar lembaga pendidikan keagamaan tidak menjadi ruang abu-abu yang sulit dijangkau hukum.

Reformasi tidak berarti menggerus nilai-nilai Islam, melainkan menegakkan kembali prinsip dasar: amanah, tanggung jawab, dan penghormatan terhadap martabat manusia. Kritik yang konstruktif dan berbasis data adalah bentuk cinta yang paling jujur terhadap pesantren.

Pesantren bukan malaikat. Ia adalah institusi manusiawi yang bisa benar, bisa juga salah. Mengoreksi pesantren bukan berarti menista agama, melainkan memastikan lembaga suci itu tetap berada di jalan yang lurus. Jika Islam mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar, maka menegur yang salah adalah bagian dari iman itu sendiri.

Maka, yang dibutuhkan hari ini bukan kemarahan membabi buta terhadap kritik, melainkan keberanian untuk bercermin. Karena pesantren yang benar-benar kuat bukanlah yang selalu dipuji, tetapi yang berani diperbaiki.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *