FENOMENA politik-ekonomi Indonesia, akhir-akhir ini, terpusat pada sosok Purbaya Yudhi Sadewa. Kemunculan Menteri Keuangan pengganti Sri Mulyani itu menimbulkan “turbulensi” pada dinamika perekonomian nasional.
Namanya cepat melambung bukan hanya karena kebijakan kontroversialnya, tetapi juga karena gaya komunikasinya yang lugas, tegas, bahkan terkesan “koboi”. Di balik sorotan itu, kiprah Purbaya dianggap menjadi ujian strategis: apakah Indonesia benar-benar sedang memasuki era “keseimbangan baru” antara populisme politik dan disiplin teknokratis?
Sebab, di sisi lain, Presiden Prabowo Subianto dikenal dengan orientasi populis-sosialis, lewat program besar seperti makan bergizi gratis, subsidi pangan, dan penguatan ekonomi rakyat. Pertanyaan pun muncul: apakah duet Prabowo–Purbaya melambangkan keseimbangan ideologi “kiri” (pro rakyat, redistributif) dan “kanan” (efisiensi, disiplin fiskal) dalam tata ekonomi Indonesia modern?
Baca juga: Pusat Potong TKD Rp 317,4 M, Mualem Khawatir Berdampak ke Gaji ASN
Purbaya dan Tekanan Fiskal
Purbaya tampil berbeda dari menteri keuangan sebelumnya. Ia bukan sekadar birokrat berhati-hati, melainkan teknokrat yang berani mengguncang status quo. Beberapa langkah awalnya cukup mencolok: Menegur bank yang dinilai “malas menyalurkan kredit”; menggeser triliunan rupiah dana negara yang mengendap di rekening pasif; atau menuntut efisiensi belanja lembaga pemerintah.
Dalam terminologi politik-ekonomi, Purbaya berperan sebagai disciplinarian technocrat—penjaga disiplin fiskal yang menganggap stabilitas makro sebagai bentuk moralitas publik. Namun langkah efisiensi ini langsung memicu kontroversi. Ia sadar, fiskal adalah panggung politik sesungguhnya. Setiap pemotongan anggaran berarti gesekan dengan daerah dan politisi.
Baca juga: Pemotongan TKD; Cara Pintas Melenyapkan Otonomi
Puncaknya terjadi ketika 18 gubernur yang tergabung dalam APPSI mendatangi kantornya, memprotes rencana pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) dalam APBN 2026. Mereka khawatir pemangkasan ini akan menghambat pembangunan daerah.
Purbaya tidak gentar. Ia menegaskan bahwa daerah harus memperbaiki kualitas belanja publik sebelum meminta tambahan anggaran. Bahkan ia sempat berseloroh takut “dipukul gubernur” karena kebijakan ini. Ucapan ringan, tapi sarat makna: negara kini memasuki fase baru, di mana disiplin fiskal mengalahkan kompromi politik daerah.
Dialektika Kiri dan Kanan
Sejarah politik-ekonomi Indonesia menunjukkan bahwa “kiri” dan “kanan” tidak pernah hadir secara murni. Kiri berarti keberpihakan pada rakyat kecil, perlindungan sosial, dan peran dominan negara. Kanan berarti efisiensi fiskal, keterbukaan pasar, dan disiplin anggaran.
Baca juga: Dana Transfer Pusat bukan Dosa tapi Kewajiban Negara
Sejak lama, Indonesia bergerak di antara kedua kutub ini—mencari titik temu antara model developmental state ala Asia Timur dan populisme sosial khas demokrasi elektoral.
Prabowo hadir dengan semangat kerakyatan yang kuat. Namun ia membutuhkan figur seperti Purbaya untuk menjaga agar ambisi besar itu tetap realistis secara fiskal. Sebaliknya, Purbaya membutuhkan legitimasi politik dari Prabowo untuk mempertahankan kebijakan rasionalnya dari resistensi birokrasi dan daerah.
Hubungan ini mencerminkan dialektika klasik: antara moralitas redistributif dan disiplin teknokratis. Bila harmonis, kombinasi ini bisa menjadi kekuatan. Namun bila bertabrakan, tarik-ulur yang melelahkan bisa terjadi, seperti yang pernah dialami Indonesia di era reformasi fiskal.
Jejak Jokowi dan Luhut
Untuk memahami Purbaya, tak cukup hanya melihat relasinya dengan Prabowo. Ia punya jejak panjang sebagai teknokrat di era Presiden Joko Widodo. Saat krisis COVID-19, ia menjabat sebagai Ketua LPS yang berperan penting menjaga stabilitas sistem keuangan nasional.
Di masa itu pula, Purbaya dikenal dekat dengan Luhut Binsar Pandjaitan, tokoh kunci kebijakan ekonomi lintas sektor. Banyak pihak menilai, kepercayaan Jokowi dan dukungan Luhut ikut mengantarkannya ke kursi Menteri Keuangan.
Keberadaan Purbaya pun dibaca sebagai simbol kesinambungan: jembatan antara teknokrasi Jokowi dan populisme Prabowo. Strategi ini membuat transisi kekuasaan menjadi lebih lembut, sekaligus menjaga stabilitas ekonomi di tengah perubahan politik besar.
Politik Fiskal: Siapa Berdaulat atas Uang Negara?
Krisis kecil akibat aksi 18 gubernur sesungguhnya membuka pertanyaan fundamental: siapa berdaulat atas uang negara?
Sejak desentralisasi, transfer ke daerah menjadi simbol pemerataan fiskal sekaligus instrumen otonomi. Namun, banyak studi menunjukkan belanja daerah kerap tidak efisien dan kurang produktif.
Purbaya menangkap realitas ini. Menurutnya, negara tidak bisa terus-menerus “menyiram uang” tanpa perbaikan tata kelola. Membenahi fiskal daerah sama pentingnya dengan menjaga inflasi.
Namun langkah itu sarat risiko politik. Kepala daerah yang memiliki ambisi politik nasional tentu tak ingin sumber dayanya dipangkas. Karena itu, pertemuan panas di Kemenkeu bukan sekadar urusan APBN, melainkan pertarungan simbolik antara pusat dan daerah, antara efisiensi dan patronase politik.
Teknokrasi vs Populisme
Duet Prabowo–Purbaya menjadi eksperimen menarik.
Prabowo: membawa legitimasi politik lewat ide besar yang menyentuh rakyat.
Purbaya: mengedepankan disiplin teknokratik, berbasis data dan efisiensi.
Sejarah menunjukkan, kombinasi semacam ini sering kali sulit bertahan tanpa koordinasi kuat. Pemimpin karismatik cenderung mendorong kebijakan populis jangka pendek, sementara teknokrat berusaha menjaga stabilitas jangka panjang.
Maka, Purbaya diuji: bisakah ia menjaga kredibilitas fiskal tanpa kehilangan sensitivitas sosial? Sebaliknya, Prabowo juga diuji: sejauh mana ia mampu menahan dorongan populis demi stabilitas ekonomi?
Gaya “Koboi” Purbaya
Fenomena Purbaya juga menarik dari sisi kepemimpinan. Ia dikenal dengan gaya “koboi”—blak-blakan, tegas, berani menantang status quo.
Gaya kepemimpinan ini bisa membawa inovasi dan efisiensi, tapi juga mengandung risiko politik besar. Literatur manajemen menyebutnya maverick leadership: pemimpin yang bertindak cepat dan tegas, kadang impulsif.
Dalam praktik, gaya ini terlihat saat Purbaya:
Menegur bank yang malas menyalurkan kredit.
Memindahkan triliunan dana negara yang mengendap.
Menolak transfer ke daerah sebelum belanja diperbaiki.
Pendekatan ini sejalan dengan model high-risk, high-reward: bisa menghasilkan efisiensi besar, tapi juga memicu resistensi politik.
Perbandingan internasional memberi pelajaran:
John Connally (AS, era Nixon) sukses reformasi fiskal tapi menimbulkan kontroversi.
Lee Kuan Yew (Singapura) tegas dan pragmatis, hasilnya pertumbuhan luar biasa.
Manmohan Singh (India, 1991) dengan “shock therapy” berhasil membuka jalan reformasi, meski sarat risiko politik.
Dalam konteks Indonesia, gaya koboi Purbaya ambivalen: bisa memperkuat disiplin fiskal dan menarik investasi, tapi juga rawan menimbulkan konflik politik, terutama dengan kepala daerah.
Risiko dan Peluang
Ada tiga faktor yang menentukan apakah gaya Purbaya akan berhasil:
1. Kredibilitas teknokratik: ia sudah memilikinya dari rekam jejak era Jokowi.
2. Dukungan politik elite: ia mendapat legitimasi dari Prabowo dan Luhut.
3. Kontrol internal & koordinasi: ini yang paling krusial. Tanpa mekanisme pengendalian, gaya koboi bisa memicu disfungsi.
Jika mampu menjaga keseimbangan antara keberanian tindakan dan koordinasi institusional, Purbaya bisa menjadi katalisator reformasi fiskal. Namun bila ketegangan dengan elite politik dan daerah meningkat, risiko stagnasi ekonomi hingga konflik sosial akan muncul.
Harmoni yang Rawan Retak
Indonesia kini berada di persimpangan antara kesinambungan dan perubahan.
Purbaya: simbol teknokrasi era Jokowi-Luhut.
Prabowo: simbol populisme baru dengan orientasi kerakyatan.
Hubungan mereka sejauh ini produktif, namun potensi friksi tetap besar. Apakah duet kanan–kiri ini bisa menjadi harmoni baru, atau justru membuka konflik laten, masih menjadi tanda tanya. Untuk saat ini, publik melihat tiga generasi kekuasaan hadir di satu panggung: Prabowo dengan visi besar, Purbaya dengan angka-angka tajam, dan bayangan Jokowi-Luhut yang tetap memantau dari kejauhan. Mungkin, dari tarik-ulur inilah lahir resep keseimbangan baru politik-ekonomi Indonesia pasca-2029.[]
:: Ruben Cornelius Siagian, seorang peneliti independen aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan dan opini publik.