News  

Bukan Sekadar Angka: Rp 93 Miliar untuk Menyambung Asa Anak Yatim Aceh

Ilustrasi anak yatim (foto: Rumahyatim)

SENYUM lega akhirnya menghiasi wajah Siti (12), siswi kelas VI sebuah SD di Aceh Besar. Senyum yang telah lama hilang sejak ayah bocah ini meninggal dunia tiga tahun lalu. Sejak itu pula, ibunya harus banting tulang untuk menghidupi Siti dan dua saudaranya.

Sepeninggal almarhum ayahnya, kondisi ekonomi orang tua Siti semakin memprihatinkan. Makanya, setiap kali mendengar kabar bantuan pendidikan bagi anak yatim tertunda, hati kecil Siti kerap diliputi rasa cemas. “Saya takut tidak bisa lanjut sekolah,” ucapnya lirih.

Keresahan seperti yang dirasakan Siti juga menjadi cerita ribuan anak yatim lainnya di seluruh Aceh. Berbulan-bulan mereka menunggu kepastian, hingga akhirnya Pemerintah Aceh menetapkan sebanyak 93.397 anak yatim sebagai penerima Bantuan Biaya Pendidikan Tahun 2025.

Baca juga: Kepala SMA/SMK di Aceh Menjerit Kesulitan Dana, Sebentar-bentar Dipanggil ke Banda Aceh

Mereka tersebar di berbagai jenjang: mulai dari SD/MI hingga SMA/SMK/MA, termasuk siswa di Sekolah Luar Biasa (SLB) dan dayah. Bagi sebagian orang, angka ini mungkin sekadar data. Namun, bagi anak-anak yang telah kehilangan orang tua, bantuan ini adalah napas baru yang menjaga asa mereka untuk tetap duduk di bangku sekolah. “Pemerintah Aceh sangat serius agar bantuan ini tepat sasaran kepada yang berhak,” tegas Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Marthunis, Jumat (3/10/2025).

Ia menuturkan, proses verifikasi dan validasi sudah dilakukan secara hati-hati. Kekhawatiran soal keterlambatan pencairan memang sempat mencuat karena bergantung pada pengesahan APBA Perubahan 2025.

Baca juga: Dana Transfer Pusat bukan Dosa tapi Kewajiban Negara

Namun, Marthunis memastikan, begitu dokumen anggaran rampung, dana akan segera ditransfer. “Kami memahami keresahan wali anak-anak penerima bantuan. Semua dokumen sudah siap, tinggal menunggu APBA-P disahkan,” ujarnya menenangkan.

Bagi Dinas Pendidikan Aceh, bantuan ini bukan sekadar item dalam laporan keuangan. “Ini adalah napas harapan agar anak-anak yatim bisa terus belajar dan meraih cita-cita mereka,” kata Marthunis.

Di balik kebijakan itu, ada wajah-wajah kecil yang tengah berjuang melawan keterbatasan. Seperti Junaidi (15) di Lhokseumawe yang bercita-cita menjadi guru, atau Rahma (17) di Pidie yang ingin kuliah kedokteran. Tanpa dukungan biaya, mimpi-mimpi mereka bisa saja terkubur.

Jika setiap anak mendapatkan alokasi minimal Rp 1 juta, maka total anggaran yang dibutuhkan mencapai Rp 93,3 miliar. Angka ini jelas bukan kecil, namun jika dibandingkan dengan masa depan generasi Aceh, nilainya tidak seberapa.

Menurut aktivis perlindungan anak Aceh, Cut Rani Safira, program ini bukan hanya soal bantuan pendidikan, tapi juga bentuk kehadiran negara dalam meringankan duka anak-anak yang kehilangan orang tua. “Bagi mereka, uang itu bukan sekadar biaya sekolah. Itu adalah simbol bahwa mereka tidak sendirian, ada pemerintah dan masyarakat yang peduli,” ujarnya.

Cut Rani juga menekankan agar distribusi bantuan dilakukan dengan transparan dan tepat waktu. “Jangan sampai mereka yang sudah menunggu lama kembali dibuat kecewa. Ingat, anak-anak yatim ini memikul beban ganda: kehilangan kasih sayang orang tua dan keterbatasan ekonomi,” tambahnya.

Pemerintah Aceh berharap program ini memberi dampak nyata: pendidikan yang lebih inklusif, kesempatan yang sama, dan masa depan lebih cerah bagi anak-anak yatim di seluruh pelosok daerah.

Kini, yang tersisa hanyalah menanti janji itu benar-benar sampai di tangan mereka. Bagi Siti, Junaidi, Rahma, dan puluhan ribu anak lainnya, bantuan itu bukan sekadar uang — melainkan jembatan menuju masa depan yang lebih layak.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *