KabarAktual.id – Mantan Direktur Penyakit Menular WHO (World Health Organisation) Asia Tenggara, Prof Tjandra Yoga Aditama, mengungkap hasil pemeriksaan laboratorium terhadap makanan bergizi gratis (MBG). Ditemukan sejumlah faktor berbahaya bagi kesehatan, seperti virus Hepatitis dan bahan kimia.
Dikatakan, sejumlah masalah tersebut berpotensi menjadi pemicu keracunan massal. Meski begitu, Tjandra menegaskan, keracunan makanan tidak hanya hanya dihubungkan dengan program MBG di Indonesia tapi juga di berbagai belahan dunia lainnya.
Dia mengatakan, setidaknya ada lima hal yang dapat dideteksi di laboratorium untuk menilai keracunan makanan menurut WHO. “Baik juga kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG,” kata Tjandra dikutip dari keterangan tertulis, Sabtu (27/9/2025).
Baca juga: Korban Berjatuhan … Prabowo Diminta Stop Ambisi Politik, Hentikan Program MBG !
Pria yang kini menjabat Direktur Pascasarjana Universitas YARSI/Adjunct Professor Griffith University itu mengatakan bila merujuk pada hasil lab pemeriksaan sampel MBG di Laboratorium Kesehatan Daerah di Jawa Barat, setidaknya ada dua penyebab keracunan makanan.
Pertama, ditemukannya bakteri yang mayoritasnya berupa Salmonella pada sampel makanan MBG. Menurut WHO, kata Tjandra, kontaminasi bakteri Salmonela dihubungkan dengan makanan tinggi protein seperti daging, unggas, dan telur.
Baca juga: Meski Beracun, Pemerintah Tetap Lanjutkan MBG
Kedua, ditemukan juga mayoritas bakteri berupa Bacillus cereus. Ia menyebut, bila merujuk data dari NSW Food Authority Australia, Bacillus cereus yang dapat menyebabkan keracunan makanan dihubungkan, antara lain, dengan penyimpanan nasi yang tidak tepat.
Di luar temuan itu, Tjandra mengatakan keracunan makanan setidaknya dipicu oleh lima hal, berdasarkan kajian WHO.
Lima masalah ini, kata dia, sebetulnya juga bisa dideteksi di laboratorium untuk menilai pemicu keracunan makanan. “Dan, baik kalau lima hal ini juga diperiksa di laboratorium kita sehubungan keracunan makanan yang dikaitkan dengan MBG ini,” tuturnya.
Masalah pertama, yang memicu keracunan makanan secara luas, kata Tjandra, ialah ditemukannya Salmonela, Campylobacter, dan Escherichia coli pada sampel makanan korban keracunan. Selain itu juga ditemukan Listeria dan Vibrio cholerae.
Kedua, adalah virus yang disebut WHO berjenis Novovirus dan virus Hepatitis A. Ketiga, ialah disebabkan keberadaan parasit seperti cacing trematoda dan cacing pita seperti Ekinokokus maenia Taenia.
“Yang lebih jarang adalah cacing seperti Askaris, Kriptosporidium, Entamoeba histolytica dan Giardia yang masuk ke rantai penyediaan makanan melalui air dan tanah yang tercemar,” ujar Tjandra.
Penyebab keempat yang biasanya memicu keracunan makanan, ia sebut, prion, meski kasusnya jarang. Prion adalah bahan infeksi yang terdiri dari protein, contohnya adalah Bovine spongiform encephalopathy (BSE).
Penyebab ke lima, yang perlu diantisipasi ialah kemungkinan kontaminasi bahan kimia pada makanan.
Untuk bahan kimia maka WHO membaginya menjadi tiga bagian, yakni logam berat seperti timbal, kadmium, dan merkuri; polutan organik persisten (“Persistent organic pollutants – POPs”) seperti misalnya dioksin dan polychlorinated biphenyls -PCBs; serta berbagai bentuk toksin lain adalah mycotoxins, marine biotoxins, cyanogenic glycosides, aflatoxin dan ochratoxin.
Berbagai potensi yang di sebut WHO ini, kata dia, patut jadi pertimbangan pihak terkait, walaupun tidak berarti bahwa keracunan makanan yang berhubungan dengan MBG sekarang ini adalah disebabkan lima hal itu.
“Penjelasan umum WHO ini disampaikan hanya sebagai bagian dari kewaspadaan kita saja,” kata Tjandra.
Sebagaimana diketahui, Laboratorium Kesehatan Jawa Barat (Labkes Jabar) menerima ratusan sampel makanan dari program Makan Bergizi Gratis (MBG) sejak Januari 2025. Sampel tersebut berasal dari belasan kabupaten/kota di Jabar.
Sampel yang dikirimkan merupakan makanan yang menjadi pemicu keracunan penerima MBG.
Dilansir dari detikJabar, Kepala Labkes Jabar, Ryan Bayusantika Ristandi, mengatakan sampel makanan itu diterima melalui dinas kesehatan kabupaten/kota masing-masing.
Dia menjelaskan, berdasarkan sampel yang masuk dari Januari-September, didapatkan sampel KLB keracunan makanan dari MBG sebanyak 163 sampel, dengan jumlah instansi pengirim sebanyak 11 dinas kesehatan kota/kabupaten di Provinsi Jawa Barat, antara lain Dinkes Kabupaten Bandung Barat, Dinkes Kabupaten Bandung, Dinkes Kota Bandung, Dinkes Kabupaten Cianjur, Dinkes Kabupaten Garut, Dinkes Kabupaten Sumedang, Kabupaten Tasikmalaya, Dinkes Kota Cirebon, Dinkes Kota Cimahi, dan Dinkes Kabupaten Sukabumi. “Dengan frekuensi KLB MBG sebanyak 20 kali,” tambahnya.
Ryan menyebut hasil pemeriksaan KLB MBG di laboratorium mikrobiologi menunjukkan 72% hasil negatif dan 23% hasil positif, antara lain, Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Bacillus cereus.
Untuk pemeriksaan laboratorium kimia, sebanyak 92% hasil negatif dan 8% hasil positif nitrit. Mayoritas, ada dua bakteri yang mengontaminasi makanan.
Dari parameter pemeriksaan keamanan pangan pada laboratorium mikrobiologi, kata dia, hasilnya berbeda-beda. Secara frekuensi didominasi oleh bakteri Salmonella dan Bacillus cereus. “Pada pemeriksaan laboratorium kimia paling banyak dari parameter nitrit,” ungkapnya.
Ketika disinggung terkait faktor kebersihan air, peralatan memasak, dan higienitas pekerja Dapur MBG, Ryan menyebut ketiganya berpengaruh. “Ya, kebersihan air, peralatan, dan higienitas pekerja dapur (food handler) sangat berpengaruh terhadap terjadinya keracunan makanan, dan hal ini diatur jelas dalam regulasi,” tuturnya.[]
Sumber: CNBC Indonesia