PROBLEM pertama dari Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah karena program itu tercetus dari mulut Prabowo Subianto yang kemudian — berdasarkan keputusan KPU — jadi Presiden. MBG pada mulanya dicetuskan di dalam kampanye, lalu dibakukan menjadi program nasional.
Sudah lumrah di negeri yang pejabatnya tebal muka dan suka selfie-selfie ketika ditangkap KPK, mereka kurang berempati. Kebanyakan doyan bermewah-mewah dan suka tampil hedon.
Makanya, isu minyak babi atau ribuan korban keracunan akibat MBG tidak membuat mereka bergeming. Para pejabat yang sebagian merupakan titisan mantan Presiden Jokowi itu tetap dengan misi mereka melanjutkan program yang menjadi andalan sang atasan dan terus-menerus memberikan laporan baik-baik saja.
Baca juga: Di Tengah Badai Kritik dan Korban Bergelimpangan, Pemerintah Tetap Kebut Program MG
Beda dengan negeri yang menghargai kemanusiaan, meskipun tidak menyebut diri mereka agamis atau paling pancasilais. Di sana, nyawa dan nilai kemanusiaan sangat dijunjung tinggi.
Ingat tragedi tambang di Chili tahun 2010? Sebanyak 33 penambang terjebak ratusan meter di bawah tanah. Presiden Sebastián Piñera langsung turun tangan, mengerahkan segala sumber daya negara, bahkan melibatkan teknologi dari NASA, sampai akhirnya semua korban diselamatkan.
Begitu pula di Thailand tahun 2018, ketika 12 anak dan seorang pelatih sepak bola terjebak di dalam gua yang terendam air. Pemerintah Thailand mengerahkan operasi penyelamatan terbesar dalam sejarah negeri itu, melibatkan tim penyelam internasional, hingga akhirnya semua selamat.
Baca juga: Kasus Keracunan tak Bisa Ditolerir Lagi, KPAI Desak MBG Segera Dihentikan
Sekarang bandingkan dengan Indonesia. Ribuan anak keracunan akibat program MBG, tapi presidennya justru memilih diam dan membiarkan bawahannya memberi laporan ABS. Inilah bedanya: di negara lain, satu nyawa begitu berharga; di sini, ribuan nyawa pun masih bisa disepelekan demi menjaga citra program politik.
Hingga September 2025, tercatat lebih dari 5.700 siswa di 17 provinsi menjadi korban keracunan massal akibat menu MBG. Ratusan anak harus dirawat intensif di rumah sakit. Data Kementerian Kesehatan menyebut kasus terbanyak terjadi di Jawa Barat, Jawa Timur, Aceh, dan Sumatera Utara.
Gelombang kritik pun semakin deras. Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) menegaskan program MBG harus dihentikan sementara sampai ada evaluasi menyeluruh terhadap standar kebersihan, gizi, dan distribusinya. Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) menilai pemerintah lalai karena menjadikan anak-anak sebagai “kelinci percobaan” atas program yang belum diuji kelayakannya. Bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mendesak agar semua rantai distribusi diperiksa ketat, menyusul temuan penggunaan minyak babi dalam pengolahan peralatan makan.
Desakan serupa datang dari jaringan pelajar Indonesia, aktivis pendidikan, dan anggota DPR lintas fraksi yang meminta Presiden Prabowo Subianto segera menghentikan MBG.
Kalau memang program itu dimaksudkan untuk kebaikan, seharusnya Prabowo mendengarkan kritik dan saran publik. Jangan hanya menerima laporan ABS dari bawahan.
Program MBG sejak awal memang sudah disangsikan efektivitasnya. Penyebab utamanya karena tidak melalui pengkajian yang matang dan komprehensif.
Selain itu, problem paling mendasar masyarakat bukanlah soal kasih makan anak di sekolah. Kasih makan anak itu urusan orang tua mereka masing-masing. Yang harus dipikirkan pemerintah adalah menjaga dunia usaha tetap sehat sehingga tidak banyak penduduk Indonesia yang jadi korban PHK akibat perusahaan bangkrut karena iklim investasi yang buruk.
Pemerintahan yang dijalankan dengan sistem komando ala militer adalah faktor lain yang menyebabkan aspirasi mengendap dan presiden hanya akan menerima laporan baik-baik saja. Padahal yang terjadi di masyarakat sebaliknya. Ribuan anak jadi korban keracunan, ompreng berminyak babi dipaksakan sebagai wadah makanan untuk jutaan anak dengan latar belakang muslim. Ini untuk tujuan apa?
Anda memberi mereka makanan beracun dengan piring bercampur minyak babi. Itu namanya membangun atau menghancurkan secara sistematis, luar dalam?
Sadarlah, pak presiden. Peristiwa keracunan massal akibat MBG itu tidak hanya menjadi pemberitaan lokal, informasi itu juga dikonsumsi oleh masyarakat dunia.
Bagaimana anda berpidato di forum PBB saat rakyatmu bertumbangan gara-gara menyantap makanan dari program yang — katanya — menjadi kebanggan. Mereka (luar negeri) semua juga tahu informasi negatif itu. Jadi, tolong dengarkan kritik dan masukan. Jangan hanya menerima laporan ABS saja.[]