Opini  

Kasus Sambo dan Ujian Independensi Peradilan Indonesia

Avatar photo
Ilustrasi (foto: inet)

Pro kontra keputusan Komisi III DPR mencoret hakim yang menjatuhkan vonis mati terhadap Ferdy Sambo dari daftar calon hakim agung menimbulkan pertanyaan besar. Akankah penegakan hukum menjadi lebih baik setelah 10 tahun terakhir porak-poranda?

Sebenarnya, rakyat Indonesia sedang menaruh harapan besar akan terjadi perbaikan. Setelah DPR diberi “pelajaran” baru-baru ini, ada secercah harapan kinerja mereka berubah.

Ternyata tidak. Keputusan wakil rakyat dalam menetapkan calon hakim agung sepertinya semakin menjauhkan harapan masyarakat. Awan hitam menggelayuti masa depan penegakan hukum di negeri yang terlanjur dijuluki Konoha.

Baca juga: Tetapkan 10 Calon Hakim Agung, Komisi III Coret Hakim yang Vonis Mati Ferdy Sambo

Menjadi aneh sekaligus mengkhawatirkan jika seleksi hakim agung lebih menilai putusan yang dijatuhkan, bukan rekam jejak karier maupun prestasi profesional seorang hakim. Kondisi ini berpotensi menjadi ancaman serius bagi masa depan independensi peradilan di Indonesia.

Baca juga: Aktivis dan Influencer Serahkan 17+8 Tuntutan Rakyat ke DPR

Keputusan semacam itu dapat menciptakan preseden buruk: karier hakim bisa dipengaruhi oleh vonis yang mereka jatuhkan, khususnya dalam kasus besar yang menyita perhatian publik. Padahal, independensi hakim merupakan prinsip universal yang dijamin oleh Konstitusi Indonesia. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 menegaskan bahwa, “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.”

Prinsip ini juga ditegaskan dalam Basic Principles on the Independence of the Judiciary yang diadopsi Majelis Umum PBB tahun 1985. Salah satu butir penting menyatakan:

“The independence of the judiciary shall be guaranteed by the State and enshrined in the Constitution or the law of the country. It is the duty of all governmental and other institutions to respect and observe the independence of the judiciary.”

Baca juga: DPR dan Budaya “Muka Tebal”

Artinya, negara berkewajiban melindungi hakim dari segala bentuk intervensi politik, ekonomi, maupun opini publik. Jika pencoretan dilakukan hanya karena sebuah putusan yang dianggap kontroversial, bukan karena pelanggaran integritas atau kurangnya kompetensi, maka pesan yang muncul adalah hakim bisa dihukum karena keberaniannya mengambil putusan tegas.

Dari perspektif politik hukum, langkah DPR ini mengindikasikan adanya kerentanan politisasi dalam proses seleksi hakim agung. Pertanyaan pun muncul: apakah pencoretan benar-benar didasarkan pada profesionalisme dan kriteria objektif, atau justru dipengaruhi oleh sensitivitas politik yang melekat pada kasus Sambo? Tanpa transparansi kriteria seleksi, kepercayaan publik terhadap DPR maupun lembaga peradilan akan terus terkikis.

Lebih jauh, dampak jangka panjang yang mungkin timbul adalah efek jera pada kalangan hakim. Mereka bisa lebih berhitung politis ketimbang yuridis dalam menjatuhkan putusan, terutama saat menangani kasus-kasus besar. Akibatnya, pengadilan bisa kehilangan fungsinya sebagai benteng terakhir keadilan dan kebenaran hukum.

Fenomena semacam ini bukan hanya terjadi di Indonesia. Di Pakistan, beberapa hakim Mahkamah Agung pernah menghadapi ancaman pencopotan atau tekanan politik ketika putusannya dianggap tidak sejalan dengan kepentingan penguasa.

Laporan International Commission of Jurists (ICJ) tahun 2000 mencatat bahwa, “Judges who ruled against the executive were subjected to harassment, forced resignation, or even physical threats.” Begitu juga di Polandia, reformasi peradilan sejak 2015 menuai kritik dari Uni Eropa karena dianggap membahayakan independensi hakim. European Commission (2020) menyatakan:

“The new disciplinary regime for judges undermines judicial independence and can be used as a system of political control of the content of judicial decisions.”

Kedua contoh tersebut menunjukkan bahwa campur tangan politik dalam karier hakim dapat mengikis kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan. Hal ini sejalan dengan peringatan Komisi Hukum Internasional (ICJ, 2016) yang menegaskan:

“Political interference in the judiciary not only weakens the rule of law, but also erodes the very foundations of democracy.”

Pencoretan hakim dalam kasus Sambo ini karenanya bukan sekadar soal satu nama yang tersingkir, melainkan refleksi bagaimana negara memperlakukan prinsip dasar independensi peradilan.

Jika pola seperti ini terus berulang, Indonesia berisiko melahirkan hakim-hakim yang tidak lagi berani mengambil keputusan berdasarkan hukum, melainkan sekadar mencari aman demi kelangsungan kariernya.[]

:: Penulis, adalah Direktur Lembaga Emirates Development Research di Banda Aceh

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *