Opini  

Aceh tidak Bisa Ditipu Dengan Sekarung Beras, Zulhas!

Avatar photo
Acara kunker Zulhas dalam rangka bagi-bagi beras (foto: Ist)

MENTERI Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan atau Zulhas membagikan masing-masing satu karung beras untuk 150 warga Banda Aceh, Kamis 18 September 2025. Sebagai masyarakat yang tahu etika, mereka pun mengucapkan terima kasih.

Ya. Masyarakat tetap melakukannya, meskipun mereka tahu bahwa apa yang dilakukan oleh Zulhas itu tidak murni sebuah perlakuan yang seharusnya. Tindakan ini lebih dari sekadar bantuan.

Ini adalah contoh klasik politik simbolik, aksi yang terlihat peduli tapi tidak menyelesaikan masalah nyata seperti harga pangan, kemandirian ekonomi, dan kesejahteraan berkelanjutan.

Baca juga: Rakyat Sedang Disuguhi Permainan Politik Kotor

Aceh bukan wilayah yang mudah dibodohi. Sejarah politik dan kesadaran rakyatnya membuat masyarakat cepat membaca praktik semacam ini. Mereka tidak ingin citra media atau janji sesaat; mereka menuntut kebijakan nyata dan kerja sama untuk keluar dari kemiskinan.

Politik simbolik dan dampaknya

Politik simbolik terjadi ketika bantuan atau tindakan partai lebih menekankan citra positif daripada solusi nyata. Satu karung beras untuk ratusan warga memang tampak baik di media, tapi secara struktural mengandung implikasi yang luas:

1. Mental ketergantungan – Rakyat terbiasa menunggu kemurahan pejabat, bukan mengembangkan strategi mandiri.

2. Penurunan harga diri – Kebutuhan pokok dijadikan alat politik; masyarakat merasa lemah tanpa bantuan.

3. Ilusi partai – Rakyat menilai partai dari liputan dan simbol, bukan kebijakan yang benar-benar memberdayakan.

Fenomena ini menyerupai praktik lama penjajah: memberikan sedikit agar rakyat terlihat puas, sambil tetap mengontrol sistem ekonomi dan politik.

Merusak mental rakyat

Ketua umum partai, sebagai figur nasional, menentukan arah politik partai. Praktik politik simbolik menunjukkan, bahwa citra diutamakan daripada substansi. Rakyat dibentuk untuk puas pada janji dan bantuan sesaat.

Masalah nyata diabaikan – Harga pangan tinggi, ekonomi rakyat tidak mandiri, dan partisipasi politik menurun.

Akibatnya, rakyat terbiasa dengan politik janji sesaat, tergantung pada elite politik, dan kehilangan kemampuan menuntut hak mereka secara nyata.

Ketua partai daerah seharusnya menjadi penghubung antara rakyat lokal dan kebijakan pusat. Namun, banyak yang hanya mendampingi pejabat untuk kamera dan liputan.

Masyarakat Aceh menyimpulkan: pejabat dan partai tidak mampu berdiri sendiri untuk mengubah nasib rakyat. Mereka hanya membawa “pembangunan lip service” tanpa substansi.

Aceh berbeda dari daerah lain karena masyarakatnya lebih kritis. Bantuan simbolik seperti satu karung beras cepat terbaca tidak efektif.

Yang diinginkan rakyat Aceh adalah:

1. Kemandirian ekonomi – Harga pangan stabil, koperasi lokal, distribusi pangan mandiri.

2. Kebijakan partai relevan – Adaptasi konsep pusat sesuai konteks Aceh.

3. Pendidikan politik masyarakat – Memahami hak, kewajiban, dan cara menuntut kebijakan nyata.

4. Program berkelanjutan – Bukan sekadar simbol, tapi inisiatif jangka panjang yang benar-benar memberdayakan.

Jika partai menjalankan strategi ini, rakyat tidak lagi menjadi objek politik simbolik. Mental mereka terjaga, dan kredibilitas partai meningkat.

Politik simbolik satu karung beras adalah praktik jangka pendek yang merusak mental dan harga diri rakyat Aceh. Bantuan simbolik harus diganti dengan strategi nyata yang memberdayakan dan mendorong kemandirian. Satu karung beras bukan solusi. Jadi, jangan lagi membodohi.[]

:: Penulis adalah presidium Global Aceh Awakening

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *