SUASANA kerja penuh tekanan, waktu itu, tak hanya dialami jajaran Dinas Pendidikan. SKPA lain juga mengalami hal yang sama.
Menggunakan format pemantauan “merah–kuning–hijau”, Taqwallah mengecek realisasi berbagai kegiatan: donor darah, doa bersama, hingga vaksinasi Covid-19. “Kalau status kita ‘merah’, siap-siap ditelepon tengah malam,” ujar seorang kepala dinas.
Pada beberapa kesempatan, nada ancaman meluncur di hadapan bawahan. “Saya punya banyak simpang. Bisa saja dana BOS distop,” kata Taqwallah, menurut kutipan seorang pejabat pendidikan.
Kepercayaan dari atasan—Gubernur Nova Iriansyah—memperlebar lintasan kewenangan dia sebagai Sekda. Aceh kala itu tanpa wakil gubernur, dan peran Sekda disebut menjulur melampaui fungsi administratif. “Beliau seakan jadi ‘komandan harian’,” kata sumber di lingkungan Setda.
Baca juga: “Asbabunnuzul” Proyek Wastafel (1): TENDANGAN DI TENGAH MALAM BUTA
Dari panggung seperti itulah, “asbabunnuzul” proyek wastafel bertunas. Pandemi mengganas, pemerintah pusat memerintahkan refocusing anggaran.
Di Aceh, Sekda mendorong pemasangan wastafel—tempat cuci tangan—di sekolah-sekolah sebagai simbol kampanye higienitas. Rachmat mengiyakan tanpa banyak tanya. “Saya sudah trauma,” kata orang dekatnya, mengutip curhat sang kepala dinas kala itu.
Mantan Sekda Aceh, Taqwallah, tak merespon konfirmasi yang dilayangkan KBA.ONE—media Jaringan Jurnalis Investigasi Sumatera (JJIS)—via WhatsApp, Sabtu 7 September 2025.
***
Pada 6 April 2020 adalah titik mula. Di hari itu, Kepala Dinas Pendidikan Aceh Rachmat Fitri, Muzafar, dan Sekretaris Dinas Teuku Nara Setia mengikuti konferensi video yang dipimpin Sekda Taqwallah.
Perintahnya: “Siapkan bahan kegiatan yang belum dan tak mungkin dilaksanakan untuk refocusing”. Keesokan hari, bahan diserahkan ke Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) yang diketuai Sekda.
Pada 12 April, rapat pembahasan pagu digelar di ruang Kepala BPKA Bustami Hamzah, dihadiri Gubernur Nova Iriansyah, Sekda Taqwallah, dan Kepala Inspektorat Zulkifli. Hasil rapat menyatakan refocusing Dinas Pendidikan telah sesuai.
Di sini, mulai terlihat aneh. Setelah rapat bubar, Rachmat yang merupakan kepala dinas diperintahkan agar keluar ruangan. Nara—orang nomor dua di dinas—dipanggil masuk.
Tak lama, Nara keluar dan menyampaikan kepada Rachmat — atasannya — bahwa program yang bisa dijalankan lewat refocusing, antara lain, publikasi bahaya Covid-19, serta pembangunan sarana air bersih dan wastafel.
Meskipun sudah diperlakukan tak wajar tadi, Rachmat masih menunjukkan sikap manut. “Kalau arahan pimpinan maka kita harus melaksanakan,” sahut Rachmat, seperti dikutip dari catatan Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA).
Besoknya, 13 April, seluruh kepala bidang dikumpulkan. “Ada penambahan anggaran untuk penanganan Covid-19,” ujar Rachmat di ruang Oproom Disdik sambil meminta surat pernyataan tiap bidang bahwa kegiatan tersebut untuk Covid-19.
Dua hari kemudian, surat-surat itu masuk, termasuk dari bidang Sarpras—menyebut program tempat cuci tangan di SMA, SMK, dan SLB akan dilaksanakan melalui APBA 2020.
Pada 22 April, undangan WhatsApp dari Sekretariat P2K APBA mendarat di gawai Rachmat: hadir mengambil pagu refocusing. Sehari sesudahnya rapat final di BPKA. Aplikasi SIPD diisi.
Pada 15 Mei, Sekda menerbitkan surat pagu final Dinas Pendidikan; di dalamnya ada penambahan untuk pembangunan sarana air bersih dan pemasangan wastafel di SMA, SMK, dan SLB dengan nilai Rp41,214 miliar. Dokumen pelaksanaan pergeseran anggaran ditetapkan 15 Juni 2020, ditandatangani Rachmat, Bustami, dan disahkan Sekda.
Di antara dua tanggal itu, menurut YARA, “Indikasi kecurangan sudah muncul.” Nara dipanggil khusus—tanpa Rachmat—menghadap Gubernur Nova dan TAPA, dan menjelaskan bahwa paket wastafel “milik” Kausar Muhammad Yus (mantan anggota DPRA Fraksi Partai Aceh) dan Hendra Budian (Anggota DPRA Partai Golkar).
Tak lama, muncul sosok Zulfikar alias Om Zul ke Dinas Pendidikan, memperkenalkan diri “orang suruhan” Nova. Rachmat disebut menegaskan, bila demikian, laksanakan sesuai aturan. Proyek kemudian ditetapkan di DPPA dan—berdasarkan arahan—dipecah menjadi 405 paket pengadaan langsung, dengan pagu per paket antara Rp90–110 juta. “Paket dipecah-pecah berdasarkan titipan nama,” tulis ringkasan investigasi YARA. (Keterangan YARA dan konfirmasi nama-nama di atas yang tak direspon sudan dipublikasikan KBA.ONE pada 10 September 2024).
Pada periode yang sama, dua kali Rachmat dikabarkan hendak mengundurkan diri. Kali pertama, Sekda memintanya membuat surat. Rachmat urung melakukannya dengan alasan etika.
Kali kedua, ia justeru meminta segera diberhentikan. Pada Desember 2020, permintaan itu akhirnya dikabulkan.
Perubahan sikap Rachmat Fitri dengan mudah dipahami oleh kolega. “Dia bukan tipe pejabat yang biasa berhadapan dengan tekanan,” ujar seseorang yang mengenal dekat alumni APDN ini. “Kelemahannya mudah dimanfaatkan. Dia gampang ditakut-takuti,” timpal sumber itu. [bersambung … ]