Kasus Wastafel; Apakah Hukum hanya Menyentuh yang Lemah?

PANDEMI Covid-19 yang mewabah pada 2020 menciptakan kondisi darurat—situasi di mana hukum formal sering dipinggirkan. Petugas otoritas cepat dan tegas di atas—Gubernur, Sekda—memegang segalanya.

Dalam kondisi ketakutan global, perintah dari atas jarang ditentang. Kepala dinas, yang idealnya mencegah penyimpangan, justru menjadi boneka, mengeksekusi perintah tanpa pertanyaan.

Di tengah ketakutan akan “hantu” Covid-19, bawahan tidak ada yang punya nilai tawar. Sedikit saja melawan, panjang urusannya.

Aturan, waktu itu, sangat ketat. Siapa yang terindikasi positif Covid, tanpa terkecuali, tidak boleh menggunakan penerbangan. Semua harus diperiksa menggunakan PCR (Polymerase Chain Reaction).

Baca juga: Jejak Taqwa di Atas Wastafel

Kantor-kantor pemerintah menekan para ASN dengan aturan wajib masker dan vaksinasi. Yang membandel dikenakan sanksi.

Dalam kondisi penuh tekanan seperti itulah proyek pengadaan wastafel (tempat cuci tangan) untuk sekolah jenjang SMA, SMK, dan SLB seluruh Aceh diadakan. Kenapa tidak termasuk SD dan SMP, karena jenjang tadi yang mudah diatur karena berada di bawah kewenangan provinsi.

Baca juga: Syifak Muhammad Yus, Pengelola Terbanyak Paket Proyek Wastafel Disdik Aceh Jadi Tersangka

Singkat cerita, karena “situasi darurat”, pelaksanaan proyek wastafel pun terkesan mengabaikan aturan normal. Misalnya, tidak melalui proses tender dan paket dipecah dalam jumlah banyak dengan nilai di bawah Rp 200 juta.

Di persidangan terungkap, Kadisdik bukanlah orang yang membagi-bagikan paket proyek. Bersama PPTK dan pejabat pengadaan, mereka hanyalah pion yang belakangan hanya menjadi tumbal.

Rahmat, Muchlis (PPBJ), dan Zulfahmi (PPTK) sudah menjalani hukuman. Kemarin, polisi menambah satu tersangka baru, yakni Syifak Muhammad Yus, yang tidak lebih juga merupakan pion.

Menurut persidangan yang diliput media lokal, para terdakwa menyebut sejumlah pejabat tinggi seperti mantan Gubernur Aceh Nova Iriansyah, mantan Sekda Taqwallah, mantan Kepala BPKA Bustami Hamzah, dan mantan Sekretaris Disdik Aceh Teuku Nara Setia memiliki keterlibatan dalam proyek ini.

Polda Aceh bahkan menegaskan, setelah menetapkan tiga tersangka awal, mereka telah menyerahkan empat berkas perkara tambahan dengan tersangka baru—ML, MS, AH, dan HL—ke Kejati Aceh dan menyatakan sedang mengusut lebih lanjut siapa saja yang terlibat.

Kita belum tahu apakah para “pion” saja yang akan menjadi tumbal dalam kasus korupsi pengadaan wastafel? Apakah hukum akan menyentuh arsitek intelektual di balik proyek korup ini—atau cukup puas dengan para boneka di lapangan?

Jika penegak hukum serius, semestinya ada pengusutan lebih dalam hingga sampai ke “pusat kendali”—mereka yang mengeluarkan perintah dan menikmati keuntungan. Jika tidak, keadilan akan surut, dan reputasi institusi penegak hukum justru semakin tereduksi—karena memilih memburu kambing hitam, bukan kepala kotor.

Mengapa ini penting untuk publik? Ada beberapa alasan.

Pertama, transparansi anggaran publik adalah hak rakyat. Jika hanya pion saja yang diseret, rakyat bisa merasa dibohongi.

Kedua, efek jera hanya tercipta ketika koruptor utama dihukum. Boneka saja tak akan menghentikan sistem.

Ketiga, kepercayaan publik terhadap hukum berada di ujung tanduk. Mengabaikan aktor intelektual akan memperkuat narasi bahwa hukum hanya berlaku bagi yang lemah.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *