Ahmad Sahroni, Uya Kuya, Nafa Urbach, Eko Patrio atau beberapa lainnya bukanlah nama-nama acak. Mereka menjadi tumbal politik imbas joget-joget — meluapkan ekspresi kegirangan — menyambut kenaikan tunjangan anggota DPR yang kemudian memicu amarah rakyat.
Kegembiraan itu, sebenanya, bukan milik orang yang segelintir itu saja. Tapi juga seluruh anggota DPR RI, tak terkecuali para pimpinannya. Sahroni dkk hanyalah bagian kecil dari sebuah fenomena demokrasi yang dirusak oleh kepongahan rezim, yang lebih mendahulukan kepentingan politik elit ketimbang rakyat.
Mereka mewakili potret tentang bagaimana struktur kekuasaan bisa memakan korban dari kalangan pesohor saat demokrasi tidak lagi bekerja untuk publik. Mereka hanya pion yang tidak memiliki posisi tawar. Semua ini hanyalah bias dari sebuah pola relasi dari sumber di “hulu”.
Baca juga: Kenapa Prabowo tak Bisa Lepas dari Jokowi?
Hubungan antara Prabowo Subianto dan mantan Presiden Jokowi bukan sekadar politis—Prabowo sendiri pernah menyinggung bahwa kemenangan pilpresnya tidak lepas dari dukungan Jokowi. Istilah “Jokowi effect” bahkan digunakan dalam media ekonomi untuk menjelaskan lonjakan elektabilitas Prabowo-Gibran pasca-Era Jokowi.
Ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah pemimpin nasional sedang menjalankan mandat demokrasi, atau justru menjadi operator kekuasaan lama yang mempertahankan jaringan patronase?
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Prabowo Gagal Paham Sikapi Tunututan Publik
Prabowo telah membentuk kabinet terbesar sejak era Reformasi—48 Menteri dan 56 Wakil Menteri dalam Kabinet Merah Putih. Pakar Unair Ali Sahab menilai formasi ini adalah upaya merangkul banyak kelompok demi menjaga stabilitas politik, meski berisiko membebani anggaran dan menurunkan efektivitas birokrasi.
CSIS juga mencermati bahwa kabinet semacam ini—meski tak terlalu gemuk dari segi prosentase koalisi—justru memunculkan risiko tumpang tindih tugas, kompetisi internal, serta semakin banyak ruang bagi konflik kepentingan.
Media seperti The Jakarta Post bahkan menyebut “big government is neither efficient nor effective”—membentuk banyak kementerian bukan jaminan efektivitas, justru menimbulkan birokrasi lamban dan pemborosan.
Tambahan dari netizen juga menggarisbawahi skala pemborosan: dugaan anggaran untuk gaji menteri dan wakil menteri kini diperkirakan mencapai Rp 777 miliar per tahun—hampir dua kali lipat anggaran era Jokowi-Ma’ruf Amin (Rp 387,6 miliar).
Di tengah kebingungan kebijakan dan biaya yang membengkak, muncul perlawanan dari masyarakat sipil. Demonstrasi-menolak revisi Undang-Undang TNI pada Maret 2025 menjadi simbol resistensi terhadap sistem yang tertutup dan otoritarian. Aktivis dari Koalisi Masyarakat Sipil membobol rapat tertutup di Hotel Fairmont sebagai bentuk protes kejelasan proses dan demokrasi yang transparan.
Sementara itu, protes mahasiswa #IndonesiaGelap menunjukkan bahwa tuntutan rakyat tak bisa diabaikan: tindakan represif polisi, subsidi energi, tunjangan ASN/guru, serta kebijakan makan bergizi gratis (MBG) menjadi isu penting.
Dengan kabinet yang penuh wajah lama dari elit politik dan militer, dan respons yang seringkali dianggap lip service, banyak pihak menilai Prabowo tidak benar-benar menjalankan kepemimpinan yang pro-rakyat. Mobilisasi simbol seperti blusukan atau salam tangan sering disebut sekadar pencitraan—”lip service” yang jauh dari kesungguhan hati.
Koalisi masyarakat sipil mengkritik keras langkah pemerintah—sebagian bahkan menyebut Prabowo “gagal paham”. Dalam beberapa kasus, pemerintah menanggapi kritik dengan merangkai narasi gerakan anarkis atau label makar, sebagai justifikasi untuk membungkam perlawanan rakyat.
Jika akar kerusakan demokrasi adalah hubungan patron-patronal yang berkepanjangan—dari Jokowi ke Prabowo—apa harapan bila Prabowo enggan melepaskan diri dari patronase politik Solo? Tanpa itikad jujur untuk melayani rakyat, reformasi kabinet hanya omong kosong, sementara demokrasi terus tergerus oleh ambisi elit.[]