KabarAktual.id – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XXIII/2025 melarang wakil menteri rangkap jabatan menjadi komisaris. Putusan itu terkait uji materi Undang-Undang Kementerian Negara Nomor 3 Tahun 2008.
Dalam dokumen putusan tersebut, dalil pemohon yang menilai adanya putusan MK yang melarang rangkap jabatan bagi menteri juga berlaku untuk wakil menteri, termasuk rangkap jabatan sebagai komisaris. “Dengan adanya penegasan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019, maka terang bahwa wakil menteri juga dilarang merangkap jabatan lain sebagaimana disebut dalam Pasal 23 UU 39/2008,” begitu bunyi putusan MK yang ditetapkan, Kamis (17/7/2025).
Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang dimaksud berkaitan dengan pertimbangan MK yang menegaskan larangan rangkap jabatan untuk wakil menteri. Putusan ini mengatakan, jabatan menteri dan wakil menteri sama-sama ditunjuk oleh presiden sehingga memiliki status yang sama.
“Dengan status demikian, maka seluruh larangan rangkap jabatan yang berlaku bagi menteri sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU 39/2008 berlaku pula bagi wakil menteri,” demikian bunyi putusan 80/2019.
Alasan pertimbangan itu dibuat MK agar wakil menteri fokus pada beban kerja yang memerlukan penanganan secara khusus di kementeriannya sebagai alasan perlunya diangkat wakil menteri di kementerian tertentu.
Uji materi tak diterima karena pemohon meninggal dunia. Namun, posita pemohon yang ada dalam putusan ini tidak bisa dipertimbangkan lagi karena pemohon Juhaidy Rizaldy Roringkon meninggal dunia.
Oleh karena itu, menurut Mahkamah, berkenaan dengan kedudukan hukum pemohon yang telah meninggal dunia, tidak dapat dipertimbangkan lebih lanjut karena syarat anggapan kerugian hak konstitusional yang dimiliki oleh pemohon dalam pengujian undang-undang di MK harus relevan dan berkesinambungan dengan keberadaan pemohon.
“Dengan demikian, karena pemohon telah meninggal dunia, maka seluruh syarat anggapan kerugian konstitusional yang didalilkan pemohon dalam menjelaskan kedudukan hukum yang bersifat kumulatif tidak terpenuhi oleh pemohon,” jelas Hakim MK Saldi Isra dalam sidang, Kamis.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Andalas, Feri Amsari, mengatakan, putusan MK yang melarang rangkap jabatan wakil menteri sudah jelas dan tak perlu diperdebatkan.
Karena, kata dia, hal tersebut sudah tertuang dalam putusan 80/PUU-XVII/2019 yang menegaskan larangan rangkap jabatan menteri juga berlaku untuk wakil menteri. “Pada dasarnya putusan nomor 80 itu sudah tegas bahwa sebagaimana menteri, maka wamen tidak boleh rangkap jabatan. Jadi tidak ada perdebatan,” kata Feri dilansir Kompas.com.
Menurut Feri, alasan pemerintah yang menyebut larangan tidak ada dalam amar putusan, tetapi dalam pertimbangan hukum, tidak bisa diterima. “Istana (pemerintah) juga harus belajar apa itu putusan peradilan. Putusan peradilan itu satu kesatuan utuh, baik amar, pertimbangan, dan lain-lain, tidak bisa dipisah-pisahkan,” katanya.
Tak Langgar Aturan
Sebelumnya, sebanyak 30 wakil menteri (wamen) aktif ditunjuk sebagai komisaris BUMN. Keputusan ini pun menuai sorotan publik terkait efektivitas kinerja dan potensi konflik kepentingan dari rangkap jabatan.
Penunjukan itu jadi sorotan, karena wakil menteri merupakan jabatan struktural di pemerintahan yang menuntut fokus penuh dalam pelaksanaan kebijakan publik. Walaupun begitu, anggota Komisi IV DPR, Herman Khaeron, berprinsip, wamen rangkap jabatan tidak melanggar undang-undang. “Dengan catatan, tidak terjadi konflik kepentingan dan kehadiran posisi ini membantu meningkatkan performa BUMN,” kata Sekretaris Jenderal Partai Demokrat itu.[]
Sumber: Kompas.com