Suhu udara yang semakin panas sudah sejak beberapa tahun terakhir di berbagai wilayah, termasuk Aceh. Kondisi yang dilihat menjadi bukti nyata dari dampak perubahan iklim global.
Dosen Fakultas Kelautan dan Perikanan (FKP) Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Yopi Ilhamsyah menjelaskan, peningkatan suhu udara menyebabkan tekanan atmosfer menjadi rendah di berbagai wilayah.
Fenomena ini, dalam ilmu fisika, tertidur langsung dengan pemanasan udara yang berlebihan. “Tekanan rendah itu akibat dari suhu tinggi. Tekanan rendah menyebabkan udara bergerak dari segala arah menuju satu titik, dan ini memicu hujan lebat serta angin kencang,” tutur Yopi.
Peneliti sains atmosfer di Pusat Riset STEM USK mengungkapkan, suhu tinggi tidak hanya terasa di luar rumah, tetapi juga di dalam rumah, bahkan dengan ukuran yang besar sekalipun.
Menurutnya, masyarakat kini merasakan panas yang luar biasa bahkan setelah waktu magrib—waktu yang seharusnya menjadi momen berkumpul bersama keluarga. “Dulu waktu malam masih sejuk, sekarang tanpa kipas atau AC kita sulit bertahan. Bahkan satu atau dua kipas pun terasa kurang,” ungkapnya.
Kondisi ini, menurut dia, tidak hanya berdampak pada kenyamanan listrik, tetapi juga pada konsumsi energi. Ia khawatir, peningkatan penggunaan alat pendingin udara akan memicu konsumsi energi secara besar-besaran, yang turut menjadi tantangan baru bagi pemerintah dan lembaga seperti BPBA (Badan Penanggulangan Bencana Aceh).
Penggunaan energi meningkat tajam pada suhu tinggi seperti sekarang. “Ini perlu jadi perhatian juga karena terkait dengan beban daya listrik dan potensi krisis energi di masa depan,” tambahnya.
Yopi menegaskan masyarakat harus menyadari dampak perubahan iklim, baik dari sisi pengelolaan energi, penyesuaian gaya hidup, maupun dorongan untuk kebijakan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. “Yang paling penting adalah kita semua sadar bahwa perubahan iklim ini nyata. Kita harus mulai menyesuaikan diri dan mengambil langkah nyata dari sekarang,” demikian kesimpulan .[]