DANA otonomi khusus (otsus) Aceh yang berlaku sejak 2008, hingga hari ini sudah memasuki tahun ke-17 dengan total alokasi sekitar Rp 103 triliun (Data BPKA, 2024). Dari jumlah tersebut, salah satu alokasi yang paling besar adalah di sektor pendidikan.
Hal itu sesuai mandat UUPA No. 11/2006 yang mengarahkan prioritas peruntukan dana otsus salah satunya pada bidang pendidikan. Besarnya alokasi dana otsus untuk sektor pendidikan menjadikan SKPA pendidikan, terutama Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh mendapatkan rata-rata alokasi anggaran tahunan kisaran Rp 2 triliun hingga Rp 3,5 triliun lebih per tahun sejak tahun 2008. Pendanaan utama bersumber dari dana otsus Aceh, ditambah dengan Dana Alokasi Khusus (DAK), DAU, PAA, dan berbagai sumber pendapatan Aceh lainnya.
Dana sebesar itu terbilang cukup bahkan lebih untuk ukuran Aceh dengan sebaran geografis, jumlah sekolah, siswa, guru dan tenaga kependidikan, yang jumlahnya hanya sepersepuluh dari Provinsi Jawa Barat. Sayangnya, tujuh belas tahun pelaksanaan otsus, capaian pembangunan sektor pendidikan di Aceh belum cukup menggembirakan.
Dinas pendidikan Aceh sebagai aktor utama dalam penyelenggaraan pendidikan di Aceh belum memainkan perannya secara maksimal. Padahal rencana strategis (renstra) pendidikan Aceh dan Rencana Pembangunan Aceh (RPA) yang menjadi basis perencanaan program kegiatan tahunan sudah cukup lengkap sebagai acuan dasar dalam memahami problematika penyelenggaraan pendidikan di Aceh.
Persoalan sarana dan fasilitas, pemerataan guru, peningkatan mutu guru dan tenaga kependidikan, peningkatan daya saing siswa, dan perbaikan tata kelola sekolah, merupakan isu utama pendidikan Aceh yang sering disuarakan oleh publik dan selalu menjadi topik seminar yang diselenggarakan oleh dinas pendidikan Aceh maupun kabupaten/kota.
Namun di lapangan, masih banyak sekolah di Aceh, baik yang berada di bawah kewenangan provinsi maupun kabupaten/kota, dengan kondisi memprihatinkan.
Berdasarkan data Kemendikdasmen per Desember 2024, saat ini ada 546 SMA (395 negeri, 151 swasta) dan 225 SMK (154 negeri, 71 swasta) yang tersebar di 23 kabupaten/kota di seluruh Aceh yang pengelolaannya di bawah wewenang Dinas Pendidikan Aceh. Di samping ratusan MA yang berada di bawah kementerian agama. Dari ratusan SMA dan SMK tersebut, baru beberapa sekolah yang benar-benar sudah memenuhi standar minimum, dan umumnya berada di kawasan kota.
Selain itu, ada 3.556 SD dan 1.336 SMP yang menjadi kewenangan kabupaten/kota, di samping ratusan madrasah tsanawiyah dan ibtidaiyah yang berada di bawah koordinasi kanwil kementerian agama provinsi Aceh.
Sekiranya sejak awal anggaran otsus yang dialokasikan untuk pendidikan dikelola secara maksimal, sekolah di Aceh ini mungkin secara standar sudah setara dengan DKI Jakarta atau minimal terbaik di Sumatera. Hanya saja, anggaran pendidikan Aceh selama ini lebih banyak teralokasi di pos-pos yang tidak berdampak langsung terhadap peningkatan tata kelola sekolah dan penguatan daya akses masyarakat untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu.
Fokus pembangunan pendidikan
Jika tidak ada perubahan regulasi, maka dana otsus Aceh sesuai UUPA akan berakhir pada tahun 2027. Dengan demikian, tentu perlu dipikirkan skala prioritas dan fokus pemerintah Aceh dalam mengoptimalkan dana otsus di sektor pendidikan.
Kita berharap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh terpilih, H. Muzakir Manaf – Fadhlullah, bekerja lebih ekstra sejak awal, pra dan pasca dilantik pada 7 Februari 2025, guna merumuskan fokus penyelenggaraan pendidikan sampai 2027 dan memitigasi dampak pendanaan pendidikan Aceh pasca otsus.
Di bawah kepemimpinan Mualem–Dek Fadh, kita menaruh harapan agar dana otsus Aceh dapat diperpanjang dan ditambah dengan dana keistimewaan sebagaimana tertuang dalam rencana revisi UU 11 Tahun 2006 yang telah disosialisasikan oleh DPR Aceh beberapa waktu lalu. Sebab, apabila otsus tidak diperpanjang kembali, maka pendanaan pendidikan Aceh ke depan memerlukan upaya ekstra untuk bisa mendanai program rutin dan program prioritas.
Pada tiga tahun terakhir ini, pertimbangkan prioritas anggaran pendidikan Aceh pada sarana dan fasilitas pendidikan, peningkatan dan pemerataan mutu guru, dan beasiswa Sarjana/S1 dalam negeri di perguruan tinggi yang ada di Aceh.
Utamakan pembangunan gedung perpustakaan sekolah dan daerah berikut fasilitas penunjang dan koleksi selengkap-lengkapnya, laboratorium IPA, dan laboratorium Teknologi Informasi. Untuk peningkatan mutu guru dapat dioptimalkan dengan membangun balai pelatihan dan pengembangan guru (balatbangru/BPPG) secara regional yang representatif di masing-masing Cabdin.
Melalui balai ini, harapan ke depan pelatihan dan pengembangan kompetensi guru berjalan terintegrasi dan memiliki target yang jelas. Sebab, pelatihan dan pengembangan kompetensi guru memerlukan kontinuitas, waktu, dan bersifat berkala. Setiap guru Aceh harus mengikuti sekurang-kurangnya satu kali pelatihan setiap tahun, untuk meng-upgrade kompetensi dirinya mengikuti perkembangan zaman.
Pendanaan Pasca Otsus
Revisi UU No. 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh atau UUPA sudah masuk dalam prolegnas 2025. Harapan kita, jika revisi terwujud maka dana otsus Aceh akan dipermanenkan dan ditambah dengan dana keistimewaan. Namun tak dapat dipungkiri bahwa hal itu merupakan proses politik yang cukup dinamis dan memerlukan upaya ekstra dari segenap elit Aceh untuk memperjuangkannya.
Jika revisi tidak tercapai, maka alternatif pendanaan pembangunan pendidikan Aceh harus dirumuskan ulang. Pertama, dengan mengoptimalkan penggunaan DAU, DAK, dan PAA dalam membiayai belanja rutin dan program prioritas di SKPA pendidikan di Aceh, baik Disdik Aceh, Disdik Dayah Aceh, dan Majelis Pendidikan Aceh.
Kedua, Aceh saat ini memiliki Dana Abadi Pendidikan dengan jumlah sekitar Rp 1,39 Triliun yang tersimpan di Bank Aceh Syariah. Tinjau kembali regulasi dana abadi tersebut dan maksimalkan pengelolaannya yang adil, transparan, dan akuntabel. Harus dibentuk badan khusus untuk mengelola dana tersebut, tidak mesti di bawah BPSDM Aceh.
Ketiga, memaksimalkan upaya loby ke pusat untuk mengalokasikan APBN dan block grant yang besar ke Aceh pada sektor pendidikan, misalnya membangun SMK modern (perikanan, informatika, industri galangan kapal, parawisata, dll), perpustakaan daerah, balai/taman budaya, pelatihan guru dan dosen, di samping juga membantu USK dan UIN Ar-Raniry untuk menjadi perguruan tinggi bertaraf internasional yang dapat mendatangkan mahasiswa ASEAN untuk studi di Aceh.
Keempat, membuka akses ke universitas internasional untuk berinvestasi dan membuka kampus di Aceh. Sehingga ke depan Aceh dapat menjadi hub bagi banyak mahasiswa dari seluruh provinsi di Indonesia untuk studi kelas internasional ke Aceh. Kelima, memaksimalkan kerja sama dengan negara-negara Islam untuk membantu pembangunan sektor pendidikan di Aceh.
Tentu ada banyak upaya lain yang dapat ditempuh oleh pemerintah Aceh. Kuncinya ada pada pemimpin Aceh yang mampu menggerakkan seluruh elemen untuk bersatu, bahu membahu membangun Aceh menuju kejayaan seperti di masa lalu, antara lain, pada bidang pendidikan.[]
Penulis adalah mantan Ketua Umum Lingkar Mahasiswa Peduli Pendidikan Aceh