Pak Iswanto, Sudahlah !

Muhammad Iswanto (foto: repro)

USIA memang disebut anak-anak. Meski begitu, tidak semua anak kenak-kanakan.

Ada pribadi yang masih muda tapi sudah bisa berpikir bijak dan dewasa. Kematangan berpikirnya melebihi usia biologis. Ini sesuatu yang langka. Tidak banyak jumlahnya.

Ada pula yang sebaliknya. Sudah tua, tapi pola pikir tetap kekanak-kanakan. Tak kunjung dewasa.

Iklan

Aspek kematangan diperlukan dalam memimpin. Apa lagi menjadi kepala daerah. Dia memimpin masyarakat dengan aneka karakter dan latar belakang. Tentu bukan hal mudah.

Karena itu, secara umum, kepada anak-anak tidak boleh diberikan tugas untuk memimpin. Karena itu tadi. Belum tentu memiliki kematangan dalam berpikir.

Di era pemerintahan dan perpolitikan Tanah Air yang sedang berada pada masa-masa “pancaroba”, dimana sirkulasi dan rekruitmen elit tidak terjadi sebagaimana lazimnya, “musibah” bisa saja terjadi.

Misalnya, sekonyong-konyong muncul kepala daerah dengan bobot kualitas rendah. Sehingga, kehadiran pemimpin tersebut akan tidak memberi makna. Tapi, mungkin, hanya kegaduhan demi kegaduhan.

Fenomena seperti dilukiskan itu bisa saja terjadi. Bersebab penentuan kepala daerah tidak melalui tahapan seleksi oleh sistem rekruitmen elit lewat partai politik. Tidak melalui mekanisme pemilihan, tapi penunjukan dari atas. Sehingga, tidak ada uji kelayakan oleh publik melalui wakil-wakilnya di lembaga perwakilan.

Biasanya yang dilihat hanya pangkat/golonga PNS yang itu akan diperoleh tanpa susah-susah. Tiba waktunya akan naik sendiri. Nyaris tanpa prestasi yang konkret.

Menunggu pemilu 2024, ada puluhan kepala daerah di Tanah Air yang ditetapkan dengan pola demikian. Didrop dari atas. Tidak terkecuali di Aceh. Salah satunya Aceh Besar.

Untuk Kabupaten Aceh Besar, saat ini, Pusat telah menunjuk Muhammad Iswanto sebagai Penjabat Bupati. Pejabat eselon II Pemerintah Aceh itu sudah hampir setahun duduk di pusat pemerintahan, Kota Jantho.

Tapi, rakyat merasakan, hingga menjelang berakhirnya satu tahun menjabat Pj bupati, belum terlihat program strategis yang dirumuskan.

Di media, Kepala Biro Humas Pemerintah Aceh itu masih terlihat sibuk dengan aneka kegiatan remeh-temeh. Sibuk menghabiskan waktu menghadiri kegiatan-kegiatan seremoni.

Dia lupa. Wilayah Kabupaten Aceh Besar berdekatan dengan ibukota propinsi. Tentu punya beragam potensi ekonomi untuk dapat dikembangkan yang itu bisa menunjang peningkatan pendapatan asli daerah (PAD).

Potensi-potensi seperti bandara internasional, pelabuhan, jalan tol, pengembangan destinasi wisata, peternakan, pertanian, atau sektor perikanan. Potensi-potensi bisnis di sekitar itu harusnya bisa lebih dikembangkan.

Namun sayang. Potensi tersebut sepertinya belum mampu dikelola dan dimanfaatkan dengan baik oleh pemerintah Aceh Besar di bawah kepemimpinan Iswanto.

Seharusnya potensi yang ada, menjadi agenda pembicaraan pemerintahan Pj Bupati dalam peningkatan PAD untuk menjawab krisis keuangan pasca ditinggalkan pemerintahan Mawardi Ali. Namun sayang, sepertinya Pj bupati tidak begitu fokus untuk melahirkan program strategis dalam penyelesaian krisis. Malah Pj Bupati masih saja terjebak dengan berbagai kegiatan seremoni.

Padahal masih banyak persoalan yang lebih besar dan perlu diselesaikan sebagai perioritas pimpinan daerah. Peningkatan PAD untuk menyelesaikan krisis keuangan, masalah inflasi, penurunan angka kemiskinan, dan mewujudkan kesejahteraan masyarakat seharusnya menjadi PR pimpinan daerah. Tetapi, hingga sekarang tidak ada program-program strategis yang bermanfaat bagi masyarakat.

Selama ini Pj Bupati Aceh Besar dinilai sering melakukan perjalanan dinas keluar daerah dengan alasan pertemuan atau diundang oleh pihak Kementerian. Pada prinsipnya, kita sepakat saja Pj bupati melakukan komunikasi dengan pemerintah pusat. Tapi, itu semestinya berbanding lurus dengan hasil yang dibawa pulang. Bukan kembali dengan tangan kosong. Hanya menguras SPPD daerah tanpa membawa anggaran bantuan dari Pusat.

Memang tidak dipungkiri. Selama ini ada bantuan dari pemerintah pusat, tetapi itu belum bisa menyelesaikan masalah. Masih banyak infrastruktur jalan akses antarkecamatan yang rusak parah, termasuk jalan Cot Irie sebagai jalan alternatif menuju kampus Darussalam yang hingga saat ini masih saja seperti biasa belum ada tanda-tanda perbaikan.

Yang lebih runyam, soal politik. Pj bupati sepertinya gagal membangun komunikasi dengan mayoritas anggota DPRK. Hal ini bisa dilihat saat pelaksanaan laporan pertanggungjawaban dalam rapat paripurna. Banyak anggota Dewan tidak hadir. Malah disebut-sebut tidak memenuhi quorum.
Ini menandakan ada masalah komunikasi antara Pj bupati dan DPRK. Yang berkembang di luar akibat

Pemkab di bawah kepemimpinan Pj Bupati Muhammad Iswanto tidak membahas alokasi dana Otsus. Ada juga yang menyebut “ketegangan” terjadi akibat wacana penghapusan Gampong Pulau Bunta. Pj bupati dituding tidak membangun koordinasi dan konsultasi dengan Komisi I DPRK. Dalam kasus itu, dia secara sepihak meminta Kemendagri menghapus Gampong Pulo Bunta dari nomenklatur, hingga terjadi protes dari masyarakat.     

Banyak hal. Iswanto juga belum mencari solusi terhadap keberlanjutan pembangunan Puskesmas Pulo Aceh, padahal sangat urgen. Masyarakat di sana butuh pelayanan kesehatan, sebab warga menghadapi hambatan transportasi untuk bisa mendapatkannya di daratan. Fasilitas itu masih saja terbengkalai. Yang dikhawatirkan, struktur bangunan yang sudah ada akan lapuk dan rusak.

Pj bupati seharusnya juga melihat pelayanan publik daerah terluar dan pesisir. Bahkan, harus menjadi skala periotas. Masalah kesehatan, pendidikan, trasportasi, dan pelayanan administrasi untuk mereka yang berada di kawasan marginal jangan terus-menerus termarginalkan. Ini yang penting.

Apalagi wilayah Aceh Besar sangat luas. Harus ada strategi khusus untuk menghadirkan pelayanan publik yang adil dengan tata kelola birokrasi yang baik pula.

Pelayanan birokrasi yang baik itu tentu tidak akan pernah terjadi kalau pimpinan daerah tidak memulainya dengan membangun komunikasi yang baik, terutama dengan orang-orang dekat. Dengan

Sekretaris Darah, misalnya. Dengan para wakil rakyat, apa lagi!

Penting juga jadi perhatian, agar tidak salah merekrut tim khusus. Tim yang disebut tenaga ahli yang dibawa untuk mendampingi bertugas, jangan karena pertimbangan di luar profesionalisme dan kompetensi. Jangan karena “maop” tertentu. Tidak akan menyelesaikan pekerjaan, justeru akan memunculkan masalah baru.

Sudahlah. Rasanya sudah lebih dari cukup waktu untuk uji-coba. Kasihan Aceh Besar jika terus dipimpin oleh figur yang minim kapasitas. Sudahlah, Pak Iswanto.[]

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *