“Sebuah ironi, terjadinya gempa di Palu dan Lombok mengingatkan kembali. Bahwa ancaman itu terus ada. Kalau tak ada bencana di tempat lain, sepertinya ingatan warga Aceh akan bencana betul-betul lenyap”.
MENJULANG 18 meter bangunan bercat krem yang nyaris tanpa sekat jadi tampak istimewa di dekat gerbang Gampong atau Kampung Lambung, Kecamatan Meuraxa, kota Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam. Puluhan pilar berdiameter hampir satu meter yang mulai dipenuhi coretan-coretan tulisan tangan membuat bangunan berlantai empat itu terlihat paling kokoh dibandingkan bangunan-bangunan di sekitarnya.
Gedung yang selesai dibangun 2007 lalu itu dikenal masyarakat setempat dengan sebutan escape building. Desainnya dibuat dengan bantuan konsultan asal Jepang dan menurut teori mampu bertahan dari goyangan gempa berkekuatan 9-10 skala richter.
Lantai paling atas dibiarkan terbuka dan tersedia helipad untuk pendaratan helikopter. Dari lantai ini tampak gedung penyelamatan lain yang berjarak sekitar satu kilometer yang terletak di Gampong Deah Glumpang.
Selain di Lambung dan Deah Glumpang, gedung penyelamatan bantuan Jepang juga didirikan di Gampong Alue Deah Teungoh. Deah Glumpang dan Alue Deah Teungoh, tak begitu jauh dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh.
Sementara dalam kota Banda Aceh, gedung yang juga dirancang sebagai tempat evakuasi juga terdapat di Tsunami and Disaster Mitigation Research Center (TDMRC) Unsyiah dan Museum Tsunami Aceh. “Masyarakat kampung (Lambung) sudah paham kalau ada gempa cukup kuat, kami langsung kumpul di sana,” ujar seorang penduduk Lambung, Aman Muzakir, kepada detikX, Minggu pekan lalu seraya menunjuk gedung dengan luas total 1400 meter persegi itu.
Pembangunan gedung tersebut didanai pemerintah Jepang melalui Japan International Cooperation System (JICS). Muzakir mengaku sejumlah prosedur langkah penyelamatan sudah disimulasikan berulang-ulang. “Termasuk mengikuti rambu-rambu penanda arah evakuasi.”
Lambung termasuk bagian pesisir kota Banda Aceh. Letaknya jika ditarik garis lurus hanya sekitar satu kilometer dari Pelabuhan Ulee Lheue, Banda Aceh. Kawasan ini termasuk yang luluh lantak saat gelombang tsunami menghantam kota Banda Aceh pada 26 Desember 2004 silam.
Pagi itu hanya satu rumah yang bisa bertahan dengan kerusakan cukup parah di Gampong Lambung. Rumah berlantai dua tersebut sampai saat ini tetap dibiarkan berdiri tanpa direnovasi.
“Contohnya mereka parkir mobil masih menghadap ke bangunan bukan ke jalan agar memudahkan evakuasi”
Tapi tak semua mempunyai pengetahuan antisipasi bencana seperti warga kampung Lambung. Azhari, penduduk Gampong Lampuuk, Lhoknga, Aceh Besar, bahkan tak paham arti rambu penanda evakuasi bergambar orang berlari dan gelombang air yang diletakkan di persimpangan tak jauh dari Masjid Rahmatullah. “Itu apa?” ujarnya balik bertanya.
Padahal kawasan Lampuuk, Lhoknga, termasuk yang mengalami kerusakan paling hebat saat tsunami itu menerjang daratan Aceh.
Ketimpangan pemahaman tersebut diakui Kepala Pelaksana (Kalak) Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) Teuku Ahmad Dadek. Menurutnya bencana besar 2004 belum cukup kuat membuat masyarakat memiliki kesadaran bencana dan menjadikannya budaya hidup.
“Contohnya, mereka parkir mobil masih menghadap ke bangunan bukan ke jalan agar memudahkan evakuasi,” ujar Dadek.
Masyarakat mestinya juga harus punya simulasi mandiri. Selama ini inisiatif selalu datang dari pemerintah. “Bahkan kadang-kadang masyarakat minta uang saku dan transportasi saat diminta ikut simulasi bencana. Padahal simulasi harus dilihat sebagai sebuah kebutuhan.”
Tak hanya dalam tingkat rumah tangga, fasilitas umum seperti di penginapan pun tak ada informasi yang jelas terkait ancaman bencana di Aceh. Setiap tamu, menurut Dadek, berhak atas informasi tersebut.
“Tamu-tamu hotel harus diingatkan bencana yang harus diantisipasi kalau berada di Aceh. Jalur evakuasinya seperti apa. Kan tidak apa-apa, bukan untuk menakut-nakuti,” ujar mantan Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Aceh Barat itu kepada detikX.
Dadek mengaku sudah menyiapkan pembaruan prosedur operasi standar dalam rencana penanggulangan bencana serta kajian risiko bencana. Likuifaksi seperti yang terjadi pada gempa di Palu, Sulawesi Tengah, beberapa pekan lalu, bisa pula terjadi di Banda Aceh, sehingga mesti dimasukkan dalam pembaruan.
Hasil riset Pusat Penelitian Geoteknologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia yang dilakukan 2015 lalu memperlihatkan zona kerentanan likuifaksi tinggi sampai sangat tinggi hampir terdapat di semua wilayah kecamatan di kota Banda Aceh, kecuali wilayah Kecamatan Baiturahman.
Teknologi sistem peringatan dini tsunami pun tak lepas dari kekurangan. Menurut Dadek dari enam sirene peringatan di Aceh hanya empat yang aktif. “Dua lainnya rusak dan katanya suku cadangnya tidak diproduksi lagi,” katanya.
Dadek juga mengeluhkan rencana Badan Metereologi, Klimatologi, dan Geofisika untuk mengalihkan perawatan sirene tersebut kepada pemerintah daerah. “Saya kira ini langkah keliru. Perawatan, biaya satelit, suku cadang, kan BMKG lebih berpengalaman.”
Ingatan masyarakat yang pendek akan bencana juga disampaikan Reza Idria, antropolog Universitas Islam Negeri Ar Raniry Banda Aceh. Saat gempa besar kembali mengguncang Aceh pada April 2012 lalu, meski sudah berlatih berulangkali, timbul kepanikan luar biasa.
Jalur evakuasi tidak digunakan dengan efektif sehingga terjadi kecelakaan di beberapa tempat. “Sebuah ironi, terjadinya gempa di Palu dan Lombok mengingatkan kembali. Bahwa ancaman itu terus ada. Kalau tak ada bencana di tempat lain sepertinya ingatan akan bencana betul-betul lenyap,” kata Reza.
Petaka-petaka ini perlu terekam dengan durasi yang panjang dalam ingatan dan pengetahuan masyarakat. Selain melalui edukasi, Reza menyebut jalur agama bisa jadi sarana efektif. “Dalam kajian saya mengapa harus agama dikedepankan karena ini doktrin yang paling cepat masuk. Sedari kecil kita sudah ‘dicekoki’,” ujar Reza.
Agama Islam, kata Reza, mengajarkan hubungan manusia dengan alam. Kemudian doktrin kepatuhan pada Allah, nabi, dan pemimpin. “Pemimpin ini mengeluarkan regulasi. Misalnya tentang radius pantai yang bisa ditinggali. Itu kan aturan. Harusnya ini menjadi patokan.”
“Medium paling tepat dan efektif mengkampanyekan tentang bencana ini ya mimbar Jumat. Dimana setiap orang ketemu setiap minggu.”
Pelaksanaannya, kata Reza, bisa dilakukan lewat para khatib. Khatib-khatib harus dibekali pengetahuan soal kebencanaan. “Medium paling tepat dan efektif mengkampanyekan tentang bencana ini ya mimbar Jumat. Dimana setiap orang ketemu setiap minggu. Tidak harus setiap minggu bicara bencana bisa sekali dalam sebulan,” ujarnya.
Tak hanya dalam Islam, menurut mahasiswa program doktoral Universitas Harvard, Amerika Serikat itu metode ini bisa dipakai dalam semua agama. “Kita punya modal sosial untuk itu.”
Edukasi mitigasi bencana memang jadi prioritas, namun setelah bencana terutama selama masa rehabilitasi dan rekonstruksi jangan dilupakan pengawasannya. Masyarakat Transparansi Aceh (Mata) mencatat sepanjang proses itu sebanyak 76 kasus dugaan penyimpangan yang dilaporkan ke penegak hukum dan 100 lebih kasus yang diselesaikan lewat proses non litigasi. “Hanya dua kasus yang ditindaklanjut sampai berkekuatan hukum tetap,” ujar Koordinator MaTA, Alfian.
Bencana di Palu, kata Alfian, harus bercermin dari dugaan penyimpangan yang terjadi pasca bencana gempa dan tsunami Aceh. Pendataan korban yang terdampak langsung harus benar-benar melalui proses verifikasi ketat. “Data yang simpang siur menjadi celah terjadinya penyimpangan,” kata Alfian.
Pengalaman di Aceh, mestinya bisa jadi pelajaran di tempat lain. “Saya kira untuk Palu, para korban jangan hanya menjadi penerima bantuan. Tapi mereka harus terlibat dan dilibatkan dalam proses perencanaan dan pengawasan.”
Sumber: detikcom